Tawuran Kembali Marak di Ibu Kota

Fenomena tawuran antar pelajar dan kelompok remaja kembali marak terjadi di berbagai wilayah Jakarta. Dalam sebulan terakhir, aparat kepolisian mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah kasus tawuran, terutama di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Aksi kekerasan ini sering kali dipicu oleh saling tantang di media sosial, balas dendam, serta tekanan lingkungan sekitar.

Beberapa kasus bahkan menyebabkan korban luka berat dan kerusakan fasilitas umum. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan mendalam dari masyarakat, pemerintah, serta para ahli di bidang psikologi dan pendidikan.

Faktor Psikologis di Balik Perilaku Tawuran

Menurut Psikolog Klinis, Dr. Ratna D. Yuliana, tawuran bukan hanya soal kenakalan remaja biasa, melainkan refleksi dari kondisi psikologis dan sosial yang kompleks. Remaja yang terlibat tawuran umumnya mengalami krisis identitas, tekanan dari teman sebaya, serta kurangnya pengawasan dan komunikasi dari keluarga.

“Remaja berada pada fase pencarian jati diri. Ketika tidak mendapat pengakuan di lingkungan positif, mereka cenderung mencari pengakuan di kelompok yang menawarkan penerimaan meski lewat cara negatif,” ujar Dr. Ratna.

Ia juga menyebut bahwa dorongan adrenalin, emosi yang belum stabil, serta minimnya ruang ekspresi yang sehat bagi remaja menjadi pemicu tambahan.

Peran Media Sosial dan Lingkungan

Media sosial disebut sebagai salah satu pemicu utama eskalasi tawuran. Tantangan atau provokasi yang viral di platform seperti TikTok atau Instagram memicu reaksi berantai antar kelompok remaja. Mereka merasa perlu menunjukkan eksistensi dan keberanian, bahkan dengan risiko hukum.

Selain itu, lingkungan sekitar yang permisif terhadap kekerasan dan kurangnya sosok teladan juga memperparah situasi. Beberapa remaja menganggap kekerasan sebagai hal biasa karena terbiasa menyaksikannya di rumah atau lingkungan mereka.

Solusi: Pendekatan Psikologis dan Sosial

Dr. Ratna menegaskan pentingnya pendekatan psikologis dan preventif. Pendidikan karakter di sekolah, konseling rutin, serta pelibatan orang tua dalam pengasuhan remaja sangat krusial. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan lebih banyak ruang positif untuk menyalurkan energi dan kreativitas remaja, seperti klub seni, olahraga, dan diskusi remaja.

“Kalau kita ingin mencegah tawuran, kita harus hadir lebih awal dalam kehidupan mereka—bukan setelah mereka jadi pelaku,” tutupnya.

Penutup

Tawuran di Jakarta bukan hanya masalah kriminalitas, tetapi juga cermin dari kegagalan kita membentuk ruang tumbuh yang sehat bagi generasi muda. Diperlukan sinergi antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah agar fenomena ini tidak terus berulang.